America First: Rahasia Negara yang Menguasai Perdagangan

-->

.CO.ID,

America First: Strategi Negara Dagang

Oleh: Syafruddin Karimi dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas

Amerika Serikat telah kehilangan posisinya sebagai pemimpin global dalam hal idealisme demokrasi. Dalam era "America First," Negara Paman Sam sekarang mengambil peran sebagai sebuah bangsa perdagangan yang bersifat hit dan miss: menilai manfaatnya sendiri terlebih dahulu. Apabila suatu negeri mitra dapat meningkatkan sisi ekonomi, maka kerjasama akan dijalin. Namun apabila tidak ada keuntungan bagi mereka, AS tidak segan untuk mundur dari ikatan tersebut. Hal ini bukan hanya semacam tagline politik saja - ini adalah taktik nasional nyata.

Pergeseran besar terlihat di Amerika Serikat semenjak era kepemimpinan Donald Trump. Diskursus mengenai hak asasi manusia, demokrasi, serta kolaborasi internasional berganti dengan ajakan "Bawa pekerjaan kembali ke Amerika" dan "Perdagangan yang adil, bukan perdagangan bebas." Secara gamblang, Trump menyampaikan bahwa AS tak akan lagi bertanggung jawab atas masalah global tanpa mendapat manfaatnya. Dia mengurangi sumbangan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, mendorong NATO agar berkontribusi lebih banyak, dan merevisi perjanjian perdagangan seperti NAFTA menjadi USMCA.

Meskipun demikian, pendekatan ini tidak hanya dimiliki oleh Trump. Di bawah kepemimpinan Joe Biden, jiwa "America First" masih bertahan dalam wujud yang lebih halus. Pemerintah Amerika Serikat tetap memproteksi sektor lokal mereka, mencegah teknologi penting diekspor ke China, serta terus mengutamakan kesiapan atau 'resilience' dalam jaringan suplai internasional. Secara nyata, Amerika melihat dunia bukan sebagai satu kesatuan berdasarkan prinsip-prinsip bersama, tapi sebagai lapangan permainan bagi aktivitas perdagangan.

Rencana ini didasarkan pada perhitungan yang rasional: daya saing ekonomi merupakan dasar dari kekuatan suatu negara. Sebuah negeri yang memiliki perekonomian yang solid mampu menghidrangi angkatan bersenjatanya, menduduki posisi di bidang teknologi, serta membimbing urusan diplomatik. Dengan demikian, Amerika Serikat mensyaratkan bahwa tiap-tiap ikatan dua arah wajib menciptakan manfaat ekonomi yang konkret. Hanya menjadi sekutu saja tidaklah cukup; pasangan harus menyumbangkan penambahan nilai yang dapat diukur — baik sebagai pangsa pasar ekspor, destinasi invesatif, maupun asal-usul bahan baku vital.

Sebagai akibatnya, berbagai negara—bahkan beberapa sekutu dekat Amerika Serikat—merasa mendapat tekanan. Misalnya saja Jerman dan Jepang yang terpaksa meningkatkan belanja pertahanannya untuk menghindari ketergantungan semakin besar pada perlindungan militer AS. Canada serta Meksiko juga harus memodifikasi kesepakatan perdagangan dengan tujuan membuat kondisi menjadi lebih menguntungkan bagi AS. Sampai wilayah Asia Tenggara seperti Indonesia pun mulai sadar bahwa hanya bergantung pada retorika kerjasama strategis sudah tidak cukup; mereka sekarang mencari bentuk nyata dari manfaat ekonomi dalam hubungan tersebut.

Dari sudut pandang lain, pendekatan ini menghasilkan peningkatan keterbukaan dari pihak AS. Tak ada lagi ungkapan standar seperti "sistem global berdasarkan peratur" yang bersifat unilaterally. Amerika menggunakan bahasa bisnis: sejauh mana laba didapat, betapa besarnya resiko terlibat, serta bagaimana kerja sama dapat mendukung perkembangan ekonomi negeri mereka.

Akan tetapi, di sisi lain, metode ini juga membawa ketidakstabilan secara global. Dengan meninggalkan jalur kerjasama antarnegara, Amerika Serikat memperlemah berbagai lembaga internasional yang sebelumnya telah mereka bentuk. Saat Amerika Serikat mundur dari Persetujuan Kebijakan Iklim Paris atau mengakhiri dukungan finansial terhadap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), masyarakat dunia merugi dengan hilangnya salah satu sumbu koordinasi global tersebut. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, hal ini membuat hubungan diplomatik menjadi semakin rumit dan sarat pertimbangan strategis.

Pada saat transformasi ini terjadi, Indonesia tak bisa tinggal diam. Kami perlu menyadari secara tajam bahwa globalmente sedang beralih dari semangat idealistis menuju realisme praktis. Diplomasi internasional bukan hanya didirikan pada landasan masa lalu atau ikonik saja. Sebalinya, kita mesti menguatkan hubungan diplomatik yang berkaitan dengan aspek ekonomi, mendefinisikan ulang letak pentingnya negara kita dalam wilayah Indo-Pasifik, serta memberikan penawaran nyata kepada pemain-pemain utama seperti Amerika Serikat, China, Jepang, dan Uni Eropa.

Indonesia mempunyai berbagai jenis kartu yang siap dipakai: pasar luas, lokasi geografis yang strategis, serta sumber daya alam yang cukup dan penduduk muda yang produktif. Akan tetapi, seluruh potensi tersebut baru bermakna apabila kita sanggup menyusunnya menjadi cerita kebijakan yang tegas dan penuh keyakinan. Bila tujuannya adalah diperlakukan sebagai partner setara, maka perlu ditampilkan nilai tambah konkret, tidak sekadar omongan tentang sikap netral saja.

"Amerika Pertama" lebih dari sekedar kebijakan perdagangan Amerika Serikat. Ini menggambarkan tren global yang kian berfokus pada persaingan ketat dan kesepakatan praktis. Alih-alih mempertanyakan "Bagaimana kami dapat bekerja sama?", banyak negara sekarang mengeksplorasi pertanyaan lainnya yaitu "Apakah ada sesuatu yang bisa Anda bantu?" Di dalam kerangka pikir seperti itu, tiap-tiap bangsa harus membuktikan kontribusi ekonomi mereka sendiri atau risiko dikesampingkan oleh pemimpin-pemimpin dunia utama.

Oleh karena itu, Indonesia harus meninggalkan zona amannya dalam diplomasi seremonial. Kami perlu secara proaktif menciptakan aliansi yang diarahkan oleh kebutuhan nasional spesifik. Penting bagi kami untuk menumbuhkan posisi negosiasi lewat energi sektor manufaktur, stabilitas pertanian, perkembangan teknologi, serta penyatuan regional. Yang tak kalah pentingnya, kami mesti bersedia mendeklarasikan aspirasi diri, bukannya hanya ikut-ikutan dengan dominansi power besar.

Kebijakan "America First" dapat menyulitkan lingkungan internasional dan menjadikannya lebih kompetitif. Namun, hal ini sekaligus memberi kesempatan kepada bangsa-bangsa yang pandai memprediksinya. Di era dominasi urusan bisnis, apa yang diperlukan tidak hanya kawan-kawan biasa, tetapi partner-partner strategis yang tangguh dan sesuai. Dan Indonesia memiliki potensi untuk menjadi demikian—jika kita mau terlibat dalam skena global dengan pendekatan baru.

0 Response to America First: Rahasia Negara yang Menguasai Perdagangan

Posting Komentar